Jumat, 07 Maret 2014

MP3EI dan Konflik SDA

MP3EI dan Konflik SDA

Moh Nurul Huda  ;   Peneliti Perhimpunan Rumah Indonesia
SINAR HARAPAN,  06 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Judul ini bukan suatu provokasi konflik. Bukan pula hasil studi dari suatu analisis statistik terhadap konflik sumber daya alam (SDA) yang bakal terjadi, meskipun konflik rebutan SDA yang mengerikan sudah kerap terjadi.

Tulisan ini adalah suatu precautionary perspective, katakanlah “telaah jaga-jaga”, untuk memahami kemungkinan efek buruk implementasi kebijakan MP3EI di masa yang akan datang. Prinsipnya, ketika satu kebijakan atau aktivitas menimbulkan ancaman bahaya, tindakan precautionary harus diambil kendatipun hubungan sebab-akibatnya tak disokong sepenuhnya oleh bukti ilmiah.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah rencana pembangunan yang disusun pemerintah SBY dan dikukuhkan melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2011.

Rencana besar ini mengusung visi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor 10 di dunia pada 2025, dengan pendapatan perkapita yang mencapai US$ 15.000, lima kali lipat dari saat ini yang hanya US$ 3.000.

Bagaimana caranya? Tim ekonomi SBY mengeluarkan jurus yang dikenal dengan sebutan debottlenecking atau “memecah leher botol”. Intinya, leher penghambat investasi baik berupa regulasi maupun leletnya birokrasi harus dipotong agar gerak “pembangunan” cepat mengalir lancar.

Pertimbangan pemerintah adalah dengan kekayaan SDA yang melimpah dan pasar yang gemuk diyakini akan mampu menjadi mesin penggerak pertumbuhan dari baling-baling pembangunan ekonomi nasional.

Terbukti kemudian, kebijakan MP3EI yang menata, mengatur dan membagi-bagi ruang tanah, air, dan udara ke dalam zona-zona, disebut dengan “koridor” (total ada enam koridor), meletakkan sektor tambang dan energi yang sifatnya padat modal sebagai andalan (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua).

Jawa yang nyata-nyata basis pangan digarap menjadi sentra industri dan jasa, dengan pengembangan pertanian dialihkan ke Sulawesi, dengan Bali-Nusa Tenggara sebagai pendukungnya.

Apa yang bisa dibaca dari kebijakan ini adalah suatu corak pembangunan yang meletakkan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional sebagai tolok ukur. Namun, konsekuensi logis dari tolak ukur itu juga berpotensi besar menggilas kekuatan ekonomi kolektif yang tangguh dan ramah lingkungan dalam jangka panjang, serta menyemai bibit-bibit konfik SDA di tingkat lokal.

Konflik Lokal

The tragedy of the commons, istilah yang kali pertama dipakai seorang ekolog Garrett Hardin (1969) ini, saya pakai sebagai analogi mengenai konflik mematikan dan kehancuran bersama akibat perburuan tiada habisnya terhadap SDA yang terbatas (race for natural resources). “Tragedi memanfaatkan milik bersama” itu berkembang begini.

Kita bayangkan sebuah padang rumput terbuka untuk semua orang. Dapat diharapkan setiap penggembala domba, kambing, atau kerbau berusaha memelihara sebanyak mungkin ternak di padang rumput itu. Jika Anda semua penggembala rasional, Anda akan berupaya memaksimalkan manfaat yang diperoleh. Lalu Anda berpikir, “Apa manfaatnya bagi saya bila saya menambahkan satu lagi binatang gembalaan saya?”

Manfaatnya bisa positif, juga bisa negatif. Anda semua akan untung, karena semua orang menerima penghasilan dari jualan binatang tambahan itu. Kerugian juga didapat, karena makin banyak rumput yang dimakan tiap ekor binatang tambahan. Tapi karena Anda semua (kumpulan individu-individu) ingin memaksimalkan keuntungan lewat binatang tambahan, kerugian akibat pengurangan stok rumput itu dibagi bersama.

Di sanalah letak tragedi itu. Konflik sosial potensial pecah karena semua pihak terkunci dalam sistem yang memaksa melipatgandakan tanpa batas binatang gembalaan—dalam suatu dunia yang terbatas. Pada akhirnya Anda semua ditakdirkan hancur karena kebebasan individual dalam mengejar kepentingan sendiri untuk memanfaatkan milik bersama.

Dalam konteks sekarang, materi the commons dapat berwujud ladang pertanian, hutan, migas, batu bara, dan mineral lain. SDA adalah the common dalam arti sumber daya publik untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidup bersama.

Suatu pengelolaan SDA bila ia diperlukan, diabdikan untuk tujuan itu. Namun, jika usaha pengelolaan itu hanya berorientasi pertumbuhan tinggi, suatu patokan yang berhasil dicapai meskipun hanya ada satu atau dua orang saja dibuat menjadi superkaya, berarti itu berkonsekuensi merampas hak-hak dan kelangsung hidup yang lain.

Jika kita perhatikan secara seksama, konflik SDA yang meluas beberapa tahun belakangan adalah perwujudan dari tragedi itu. Mari kita tengok kembali catatan Kompas berikut ini.

Sepanjang 2013 lalu, terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik ini selalu yang diiringi jatuhnya korban yang sebagian besar petani. Dari 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69 persen di antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Kompas, 16/2/2013).

Sebagai perbandingan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga melansir sekitar 370 konflik agraria terjadi sepanjang 2013 dengan wilayah mencapai sekitar 1,3 juta ha. Konflik melibatkan sekitar 140.000 kepala keluarga. Dalam konflik itu korban tewas 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban penganiayaan, serta 29 orang ditahan aparat keamanan (VOA Indonesia, 27/12/2013).

Di berbagai daerah, konfik membara, menyebar dan meluas (HuMa, 2013), justru saat Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2013) memperlihatkan tren peningkatan investasi yang dipuji sebagai capaian kemajuan pelaksanaan MP3EI, aneka konflik itu pecah akibat perselisihan dan benturan klaim berbagai pihak (petani, komunitas adat, masyarakat setempat vs orang-orang perusahaan, preman didukung aparat, dan seterusnya) untuk mendapat akses, kontrol dan penggunaan atas tanah, hutan, air, perikanan, dan lainnya.

Prosesnya bisa karena perbedaan klaim kepemilikan maupun cara pemanfaatan SDA setempat. Kebutuhan mendesak masyarakat terhadap SDA setempat tak diakomodasi kebijakan, program, dan proyek pemerintah atau izin usaha yang diberikan kepada perusahaan.

MP3EI berpotensi besar melahirkan konflik semacam itu. Pembagian “koridor ekonomi” dapat memaksakan sektor apa yang penting bagi klaim “pembangunan nasional” di suatu daerah kepada masyarakat/komunitas di daerah itu yang berakibat pengusiran dan peminggiran terhadap kebutuhan dan kepentingan hidup bersama mereka. Kekerasan akan lebih mengerikan jika aparat keamanan dilibatkan di pihak perusahaan atas nama melindungi aset dan kepentingan nasional.

Inkonsistensi

Sebenarnya potensi konflik ini bukannya tak disadari pemerintah. Presiden SBY pernah berbicara di depan peserta Forum Ekonomi Dunia di Davos, 2011 lalu.

Ia mengingatkan, “Populasi dunia sudah mendekati 7 miliar tahun ini, dan akan naik menjadi 9 miliar pada 2045, lebih separuhnya tinggal di Asia.” SBY melanjutkan, “Bayangkan, tekanan akan kelangkaan makanan, energi, air, dan sumber daya. Jika kita tidak mengelolanya bersama-sama, perang atau konflik ekonomi berikutnya bisa lebih dari sekadar perlombaan berburu sumber daya langka.”

Pidato Presiden itu tepat untuk menggambarkan kengerian konflik SDA yang bisa bermetamorfosis menjadi konflik etnis dan agama seperti di Afrika dan Asia Tengah.

Barangkali untuk menangkal atau menjinakkan konflik yang bakal terjadi, Bappenas bergerak cepat menyediakan kebijakan pendamping bagi MP3EI. Namanya hampir mirip, yakni MP3KI. Kepanjangannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia. Dari namanya saja kita bisa tebak isinya, seputar rencana-rencana pengurangan kemiskinan, antisipasi kerusakan lingkungan, dan lain-lain.

Namun, tujuan sosial dan ekonomi macam itu seringkali bertentangan dengan kenyataan pengelolaan SDA di lapangan. Contohnya, pembabatan hutan dan lubang-lubang menganga dataran perbukitan di Kalimantan Timur. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melaporkan, perubahan kawasan secara drastis akibat gelap mata tambang batu bara dan pembabatan hutan itu sekarang tak kuat lagi menahan banjir bandang yang menggenangi kota dan perkampungan sekitarnya.

Jadi, ketimbang hanya melotot menghitung angka-angka investasi dan pertumbuhan yang bukan-bukan itu, ada baiknya pemerintah sedikit lebih empati pada tuntutan hak-hak para calon korban konflik berikutnya. Kalau tidak, akibatnya bisa ngeri..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar