MP3EI
dan Konflik SDA
Moh Nurul Huda ;
Peneliti Perhimpunan Rumah Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 06 Maret 2014
Judul
ini bukan suatu provokasi konflik. Bukan pula hasil studi dari suatu analisis
statistik terhadap konflik sumber daya alam (SDA) yang bakal terjadi,
meskipun konflik rebutan SDA yang mengerikan sudah kerap terjadi.
Tulisan
ini adalah suatu precautionary perspective, katakanlah “telaah jaga-jaga”,
untuk memahami kemungkinan efek buruk implementasi kebijakan MP3EI di masa
yang akan datang. Prinsipnya, ketika satu kebijakan atau aktivitas
menimbulkan ancaman bahaya, tindakan precautionary harus diambil kendatipun
hubungan sebab-akibatnya tak disokong sepenuhnya oleh bukti ilmiah.
Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah rencana
pembangunan yang disusun pemerintah SBY dan dikukuhkan melalui Perpres Nomor
32 Tahun 2011.
Rencana
besar ini mengusung visi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar
nomor 10 di dunia pada 2025, dengan pendapatan perkapita yang mencapai US$
15.000, lima kali lipat dari saat ini yang hanya US$ 3.000.
Bagaimana
caranya? Tim ekonomi SBY mengeluarkan jurus yang dikenal dengan sebutan debottlenecking atau “memecah leher botol”. Intinya, leher
penghambat investasi baik berupa regulasi maupun leletnya birokrasi harus
dipotong agar gerak “pembangunan” cepat mengalir lancar.
Pertimbangan
pemerintah adalah dengan kekayaan SDA yang melimpah dan pasar yang gemuk
diyakini akan mampu menjadi mesin penggerak pertumbuhan dari baling-baling
pembangunan ekonomi nasional.
Terbukti
kemudian, kebijakan MP3EI yang menata, mengatur dan membagi-bagi ruang tanah,
air, dan udara ke dalam zona-zona, disebut dengan “koridor” (total ada enam
koridor), meletakkan sektor tambang dan energi yang sifatnya padat modal
sebagai andalan (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua).
Jawa
yang nyata-nyata basis pangan digarap menjadi sentra industri dan jasa,
dengan pengembangan pertanian dialihkan ke Sulawesi, dengan Bali-Nusa
Tenggara sebagai pendukungnya.
Apa yang
bisa dibaca dari kebijakan ini adalah suatu corak pembangunan yang meletakkan
akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional sebagai tolok ukur. Namun,
konsekuensi logis dari tolak ukur itu juga berpotensi besar menggilas
kekuatan ekonomi kolektif yang tangguh dan ramah lingkungan dalam jangka
panjang, serta menyemai bibit-bibit konfik SDA di tingkat lokal.
Konflik Lokal
The
tragedy of the commons, istilah yang kali pertama dipakai seorang ekolog
Garrett Hardin (1969) ini, saya pakai sebagai analogi mengenai konflik
mematikan dan kehancuran bersama akibat perburuan tiada habisnya terhadap SDA
yang terbatas (race for natural
resources). “Tragedi memanfaatkan
milik bersama” itu berkembang begini.
Kita
bayangkan sebuah padang rumput terbuka untuk semua orang. Dapat diharapkan
setiap penggembala domba, kambing, atau kerbau berusaha memelihara sebanyak
mungkin ternak di padang rumput itu. Jika Anda semua penggembala rasional,
Anda akan berupaya memaksimalkan manfaat yang diperoleh. Lalu Anda berpikir, “Apa manfaatnya bagi saya bila saya
menambahkan satu lagi binatang gembalaan saya?”
Manfaatnya
bisa positif, juga bisa negatif. Anda semua akan untung, karena semua orang
menerima penghasilan dari jualan binatang tambahan itu. Kerugian juga
didapat, karena makin banyak rumput yang dimakan tiap ekor binatang tambahan.
Tapi karena Anda semua (kumpulan individu-individu) ingin memaksimalkan
keuntungan lewat binatang tambahan, kerugian akibat pengurangan stok rumput
itu dibagi bersama.
Di
sanalah letak tragedi itu. Konflik sosial potensial pecah karena semua pihak
terkunci dalam sistem yang memaksa melipatgandakan tanpa batas binatang
gembalaan—dalam suatu dunia yang terbatas. Pada akhirnya Anda semua
ditakdirkan hancur karena kebebasan individual dalam mengejar kepentingan
sendiri untuk memanfaatkan milik bersama.
Dalam
konteks sekarang, materi the commons
dapat berwujud ladang pertanian, hutan, migas, batu bara, dan mineral lain.
SDA adalah the common dalam arti
sumber daya publik untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kelangsungan
hidup bersama.
Suatu
pengelolaan SDA bila ia diperlukan, diabdikan untuk tujuan itu. Namun, jika
usaha pengelolaan itu hanya berorientasi pertumbuhan tinggi, suatu patokan
yang berhasil dicapai meskipun hanya ada satu atau dua orang saja dibuat
menjadi superkaya, berarti itu berkonsekuensi merampas hak-hak dan kelangsung
hidup yang lain.
Jika
kita perhatikan secara seksama, konflik SDA yang meluas beberapa tahun
belakangan adalah perwujudan dari tragedi itu. Mari kita tengok kembali
catatan Kompas berikut ini.
Sepanjang
2013 lalu, terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi. Pada
setiap konflik ini selalu yang diiringi jatuhnya korban yang sebagian besar
petani. Dari 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69 persen di
antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9
persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Kompas,
16/2/2013).
Sebagai
perbandingan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga melansir sekitar 370
konflik agraria terjadi sepanjang 2013 dengan wilayah mencapai sekitar 1,3
juta ha. Konflik melibatkan sekitar 140.000 kepala keluarga. Dalam konflik
itu korban tewas 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban
penganiayaan, serta 29 orang ditahan aparat keamanan (VOA Indonesia, 27/12/2013).
Di
berbagai daerah, konfik membara, menyebar dan meluas (HuMa, 2013), justru
saat Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI (Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, 2013) memperlihatkan tren peningkatan investasi yang dipuji
sebagai capaian kemajuan pelaksanaan MP3EI, aneka konflik itu pecah akibat
perselisihan dan benturan klaim berbagai pihak (petani, komunitas adat,
masyarakat setempat vs orang-orang perusahaan, preman didukung aparat, dan
seterusnya) untuk mendapat akses, kontrol dan penggunaan atas tanah, hutan,
air, perikanan, dan lainnya.
Prosesnya
bisa karena perbedaan klaim kepemilikan maupun cara pemanfaatan SDA setempat.
Kebutuhan mendesak masyarakat terhadap SDA setempat tak diakomodasi
kebijakan, program, dan proyek pemerintah atau izin usaha yang diberikan
kepada perusahaan.
MP3EI
berpotensi besar melahirkan konflik semacam itu. Pembagian “koridor ekonomi”
dapat memaksakan sektor apa yang penting bagi klaim “pembangunan nasional” di
suatu daerah kepada masyarakat/komunitas di daerah itu yang berakibat
pengusiran dan peminggiran terhadap kebutuhan dan kepentingan hidup bersama
mereka. Kekerasan akan lebih mengerikan jika aparat keamanan dilibatkan di
pihak perusahaan atas nama melindungi aset dan kepentingan nasional.
Inkonsistensi
Sebenarnya
potensi konflik ini bukannya tak disadari pemerintah. Presiden SBY pernah
berbicara di depan peserta Forum Ekonomi Dunia di Davos, 2011 lalu.
Ia
mengingatkan, “Populasi dunia sudah
mendekati 7 miliar tahun ini, dan akan naik menjadi 9 miliar pada 2045, lebih
separuhnya tinggal di Asia.” SBY melanjutkan, “Bayangkan, tekanan akan kelangkaan makanan, energi, air, dan sumber
daya. Jika kita tidak mengelolanya bersama-sama, perang atau konflik ekonomi
berikutnya bisa lebih dari sekadar perlombaan berburu sumber daya langka.”
Pidato
Presiden itu tepat untuk menggambarkan kengerian konflik SDA yang bisa
bermetamorfosis menjadi konflik etnis dan agama seperti di Afrika dan Asia
Tengah.
Barangkali
untuk menangkal atau menjinakkan konflik yang bakal terjadi, Bappenas
bergerak cepat menyediakan kebijakan pendamping bagi MP3EI. Namanya hampir
mirip, yakni MP3KI. Kepanjangannya Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pengurangan Kemiskinan Indonesia. Dari namanya saja kita bisa tebak isinya,
seputar rencana-rencana pengurangan kemiskinan, antisipasi kerusakan
lingkungan, dan lain-lain.
Namun,
tujuan sosial dan ekonomi macam itu seringkali bertentangan dengan kenyataan
pengelolaan SDA di lapangan. Contohnya, pembabatan hutan dan lubang-lubang
menganga dataran perbukitan di Kalimantan Timur. Jaringan Advokasi Tambang
(Jatam) melaporkan, perubahan kawasan secara drastis akibat gelap mata
tambang batu bara dan pembabatan hutan itu sekarang tak kuat lagi menahan
banjir bandang yang menggenangi kota dan perkampungan sekitarnya.
Jadi, ketimbang hanya melotot menghitung angka-angka investasi dan
pertumbuhan yang bukan-bukan itu, ada baiknya pemerintah sedikit lebih empati
pada tuntutan hak-hak para calon korban konflik berikutnya. Kalau tidak,
akibatnya bisa ngeri..! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar